Surya Tjandra terserang polio pada kaki kirinya sejak ia berumur enam bulan. Namun sebagai penyandang tunadaksa, kelemahan fisik dan kondisi ekonomi keluarga saat itu tidak menghalangi dirinya untuk terus berjuang meraih kesuksesan. Dan perjuangannya pun berbuah manis. Kini, mantan umat Wilayah St. Caecilia yang dilayani oleh Gereja St. Yoseph - Paroki Matraman ini menjadi wakil menteri di Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Surya lahir pada 28 Maret 1971 di Jakarta. Ia adalah anak kelima dari enam bersaudara. Kala itu, ia dan keluarganya hidup sederhana. Ayahnya menjual ayam potong di Pasar Manggis, sedangkan ibunya menjual ayam potong di Pasar Baru. Saat masih kecil, ia sering membantu ayahnya berjualan ayam potong di Pasar Manggis. Sebaliknya, ibunya selalu melarangnya, bahkan mengusirnya. “Mama tidak mau saya dan adik dagang ayam. Kami diarahkan tidak dagang ayam. Mama hanya bilang, ‘kalau dagang capek, duitnya tidak seberapa,’” ujarnya. 

Surya mengagumi ibunya yang bekerja lebih keras dari ayahnya. Sejak pagi hingga siang hari, ibunya menjual ayam potong di Pasar Baru. Ibunya pulang ke rumah untuk istirahat sejenak dan pada petang hari, ia kembali ke Pasar Baru untuk menjual nasi uduk. “Hidup kami memang keras. Kami miskin. Apa-apa kami urus sendiri karena orangtua sibuk. Saya milih SMP, SMA hingga kuliah sendiri. Tetapi justru dari situlah kami menjadi mandiri,” kata alumnus SD Merdeka di Jakarta Timur ini.

Akibat keterbatasan fisiknya, Surya sering dirundung oleh teman-temannya. Beberapa teman masa kecilnya sering meneriakinya “pincang” dan sebagainya. Waktu itu ia sulit mengabaikan rasa mindernya. Ia berusaha untuk sabar, tetapi kadang-kadang ia menjadi emosi dan marah. Bahkan ia berani berkelahi jika teman-temannya sudah melewati batas. “Dulu saya termasuk anak bandel. Sampai sekarang masih suka bandel, tetapi bandel dalam hal lain ya. Saya termasuk orang yang komit, kalau ingin sesuatu saya perjuangkan betul. Kalau saya tidak bandel, tidak mungkin juga saya jadi Wamen (wakil menteri),” imbuhnya.

Beranjak remaja, Surya sudah terbiasa dengan keusilan orang terhadap keterbatasan fisiknya. Hari demi hari, hingga kini, banyak sahabat justru berempati kepadanya. “Saya mensyukuri kekurangan saya. Saya bangga dengan diri sendiri dan tidak pernah menyesal lahir seperti ini. Saya justru merasa selalu termotivasi untuk selalu menjadi lebih baik,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, kecerdasan menjadi salah satu anugerah Tuhan untuk Surya. Sejak duduk di bangku SD, ia sudah pintar. Matematika dan Fisika adalah dua mata pelajaran favoritnya. Seorang teman SD, F.X. Rizal Rosano, mengaku bahwa Surya adalah anak pintar. “Setahu saya dia termasuk pintar dan kalau tidak salah selalu masuk 10 besar,” kata umat Gereja St. Yoseph - Paroki Matraman yang kini menjabat sebagai sekretaris Dewan Paroki Harian itu.

SMAN 68 di Jakarta Pusat kemudian menjadi pilihan Surya. Ia terdorong oleh tetangganya yang pernah menempuh studi di sekolah tersebut dan mendapat beasiswa ke Belanda untuk sekolah penerbangan. Namun setelah ia masuk sekolah itu, program beasiswa telah berakhir.

Keinginan Surya untuk terus belajar berlanjut. Ia ingin masuk perguruan tinggi negeri. Akhirnya ia memilih Fakultas Hukum. Ibunya sempat mengeluh karena ia tidak memilih Fakultas Ekonomi. Namun ia beralasan bahwa seleksi masuk Fakultas Ekonomi lebih sulit dibanding seleksi masuk Fakultas Hukum. Ia memilih perguruan tinggi negeri karena biaya kuliah lebih murah. Selain itu, ia memilih Fakultas Hukum karena ia menyukai bidang tersebut. Sejak SD ia suka membaca buku tentang hukum. Ia pernah membaca kisah perjuangan pakar hukum Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hiem. Singkat kata, ia diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1995. 

Surya senang berorganisasi. Di lingkungan Gereja, ia aktif mengikuti pertemuan Legio Maria di Kapel Gembala Baik yang terletak di Jatinegara. Ia bahkan menjadi ketuanya. Ia juga aktif dalam kegiatan Muda-Mudi Katolik (Mudika, kini OMK) dan menjadi ketua Mudika di wilayahnya. Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua Mudika Gereja St. Yoseph - Paroki Matraman. Selain itu, ia terlibat aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh Seksi Komunikasi Sosial dan menjadi kontributor aktif untuk Majalah OBOR. 

Surya menjalani proses perkuliahan dengan lancar. Sambil kuliah, ia mengikuti magang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta hingga lulus kuliah. Di LBH Jakarta, ia bertugas membantu advokasi untuk buruh. “Gaji kecil, tetapi saya lihat orangtua sudah mulai settle dan anak-anak sudah besar. Adik saya juga dapat beasiswa di Telkom. Jadi lumayan bantu orangtua. Ya sudah, saya di LBH Jakarta saja walau gaji kecil, toh saya suka pekerjaannya,” ujarnya. 

Setelah lulus kuliah, Surya - yang memiliki hobi bersepeda - tetap bekerja di LBH Jakarta. Kemudian ia mendapat beasiswa S2 di Universitas Warwick di Inggris. Sebelum meninggalkan LBH Jakarta, ia sempat menerima tawaran kerja dari International Monetery Fund (IMF) dengan gaji tinggi. Namun ia menolaknya. “Saya cenderung ikut kata hati. Pekerjaan bukan semata-mata uang. Hati saya mengatakan lebih baik berjuang bersama rakyat kecil. Saya bikin LSM sambil cari beasiswa S3. Akhirnya sembari mengajar di kampus, saya buat LSM yang melayani buruh dan masih jalan sampai sekarang,” ungkapnya.

Surya memperoleh beasiswa S3 di Universitas Leiden di Belanda. Ia kemudian kembali ke Jakarta dan melanjutkan karyanya bersama buruh sambil mengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta. 

Surya pernah mengikuti seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2015. Namun ia gagal uji kelayakan di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Saat itu ia benar-benar tidak memiliki afiliasi di bidang politik. Selanjutnya, ia bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ia sempat menjadi calon legislatif (caleg) DPR-RI 2019 untuk Daerah Pemilihan Jawa Timur. Namun ia gagal.

Pada akhir 2019, Presiden Joko Widodo mengangkat Surya sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang. Ia tidak pernah menduga hal ini sebelumnya. Meskipun berat, ia menyukai pekerjaannya. “Ilmu pengetahuan mengamanatkan saya untuk tetap berpijak di bumi dan membaktikan diri untuk harkat kemuliaan kemanusiaan,” ungkap ayah dari seorang putri yang kini menjadi umat Gereja Hati Kudus - Paroki Kramat di Jakarta Pusat ini. (*)

 

Bosko Nambut